BENGKULU - Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Bengkulu meminta aparat penegak hukum di Bengkulu membebaskan delapan warga yang ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal pencurian sawit di eks HGU PT Jenggalu Permai. Delapan warga itu diketahui terdiri dari lima warga Desa Jenggalu, seorang aktivis Ormas, dan dua kader PMKRI.
PMKRI menilai, tuduhan maling itu tidak tepat karena apa yang dilakukan petani dan mahasiswa itu sejatinya adalah aksi protes terkait ketidak-jelasan status HGU di wilayah Desa Jenggalu tersebut.
Ketua Presidium PMKRI Cabang Bengkulu Josef Wiranto Simanungkalit dalam rilisnya menegaskan, tindakan mempidanakan warga dan mahasiswa oleh PT Agri Andalas merupakan bentuk arogansi dan langkah kerdil dalam melihat konteks persoalan yang sebenarnya.
Seharusnya, kata Josef, para pihak fokus kepada persoalan kepastian hukum penguasaan HGU. Bukan memperkarakan aksi protes warga dan mahasiswa yang bertujuan meminta kepastian dari pemerintah.
Adapun aksi memanen sawit bersama, kata Josef, tidak tepat dipidanakan dengan pasal pencurian. Sebab aksi itu sejatinya merupakan bentuk protes warga dan mahasiswa terhadap PT Agri Andalas yang secara sepihak memanfaatkan keadaan eks HGU PT Jenggalu Permai.
Aksi memanen sawit bersama pada 8 November 2021, tambah Josef, juga dilakukan secara terbuka yang dihadiri sekitar 30 warga Desa Jenggalu. Aksi itu juga disaksikan langsung aparat kepolisian dari Resort Seluma, Babinsa, Bhabinkamtibmas, perwakilan PT Agri Andalas, unsur Kecamatan, pemerintah desa dan diliput sejumlah media massa.
“Kalau maling tidak mungkin mengundang orang banyak dengan berbagai latar belakang profesi dan jabatan. Jadi jelas aksi itu hanya bentuk protes warga kepada berbagai pihak yang tidak segera memastikan status lahan. Jadi jangan lah aksi sosial itu dijawab dengan mengkriminalkan warga dan mahasiswa. Itu sungguh tak adil. Jadi bebaskan semua warga dan mahasiswa. Itu bukan solusi. Akar masalahnya kepastian legalitas lahan eks HGU Jenggalu,” ujarnya.
Karena itu, PMKRI Cabang Bengkulu meminta aparat penegak hukum di Bengkulu untuk tidak membuat keputusan hukum yang mengabaikan akar persoalan yang sebenarnya.
“Kami menilai segala tindakan dan upaya yang dilakukan oleh delapan orang itu merupakan wujud dari perjuangan untuk memperoleh transparasi atas kepemilikan lahan eks HGU PT Jenggalu Permai yang diklaim oleh PT Agri Andalas,” tukasnya.
Lebih lanjut dikatakan Josef, HGU PT Jenggalu Permai diketahui telah berakhir pada 2016. Sejak itu sebagian lahannya telah dikelola oleh masyarakat, baik warga Desa Jenggalu maupun warga dari luar Desa Jenggalu. Bahkan ada informasi yang menyebut sebagian lahannya diperjual belikan oleh oknum.
Aksi warga di lahan eks PT Jenggalu Permai, kata Josef, bisa dimaknai sebagai bentuk ketidak-tahuan mereka jika PT Agri Andalas adalah pihak yang berhak atas pengelolaan eks HGU PT Jenggalu Permai. Sebab selama ini belum ada bukti yang bisa diyakini warga sebagai dasar bagi PT Agri Andalas mengelola eks HGU itu.
Karena itu, PMKRI Bengkulu juga meminta Pemkab dan DPRD Seluma untuk mendesak PT. Agri Andalas membuktikan surat kepemilikan HGU yang sah. PMKRI juga meminta pihak terkait untuk memberi klarifikasi terkait mekanisme dan legalitas take over yang disebut PT Agri Andalas sebagai dasar penguasaan HGU eks PT Jenggalu Permai.
“Sebab berdasarkan dokumen yang ada, BPN Seluma sendiri mengaku belum pernah menerbitkan HGU terbaru atas nama PT Agri Andalas di eks lahan HGU PT Jenggalu Permai. Pemerintah Desa Jenggalu juga tidak pernah memberi rekomendasi persetujuan bagi PT Agri Andalas melakukan usaha perkebunan di situ. Dan Pemkab Seluma sendiri juga tidak pernah mengeluarkan izin usaha perkebunan bagi PT Agri Andalas di eks lahan HGU PT Jenggalu Permai,” beber Josef. (AH)